Rabu, 04 Juli 2012

Realita Kehidupan “Dodolitdodolitdodolibret”


DODOLITDODOLITDODOLIBRET

” Seno dan “Tiga Pertapa” Tolstoy: Adaptasi atau Kebetulan?

( Bagian Pertama )
BERDOA merupakan salah satu ibadah kepada Sang Pencipta. Dengan berdoa seseorang bisa memohon atau meminta sesuatu yang bersifat baik kepadaNya, seperti minta keselamatan hidup, perlindungan, rezeki yang halal, keteguhan iman, dan lain sebagainya. “Cara berdoa yang benar” disuguhkan Kiplik atau Guru Kiplik dalam cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma yang dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010 (Penerbit Buku Kompas, 2011: 1-8). Cerpen ini merupakan cerpen terbaik Kompas 2011.
Cerpen ini menceritakan seorang lelaki bernama Kiplik yang merasa yakin telah menguasai dan mengamalkan “cara berdoa yang benar”. Menurut hasil pengamatan Kiplik banyak sekali orang yang berdoa dengan tidak benar, padahal jika kata-kata dalam sebuah doa yang diucapkan salah, maka bukan saja menghasilkan makna yang berbeda, tetapi malah bisa bertentangan. Dalam keyakinan Kiplik, “cara berdoa yang benar” itu haruslah sempurna, yakni kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, waktunya terukur, perhatiannya terpusat, dilandasi kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan, seolah-olah sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar. Dengan kebenaran cara berdoa yang dipraktikkan Kiplik dalam kehidupannya, ia mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara.

Kebahagiaan yang diperolehnya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan yang tidak ternilai, dan oleh sebab itu ia selalu ingin membagikannya kepada siapa saja. Sebagai ahli ilmu berdoa, Kiplik yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Guru Kiplik mengembara untuk mengajarkan ilmunya kepada orang banyak , agar mereka dapat berdoa dengan benar seperti dirinya, dan mencapai kebahagiaan seperti dirinya pula. Banyak orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Guru Kiplik, serta menjadi pengikutnya.
Sebagai seorang ahli berdoa, Guru Kiplik menyangsikan kebenaran sebuah dongeng lama, bahwa siapa pun yang berdoa dengan benar akan mampu berjalan di atas air. Menurut Guru Kiplik dongeng itu hanyalah perlambang untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan diperoleh siapa pun yang berdoa dengan benar.
Suatu ketika, Guru Kiplik mengembara ke sebuah pulau terisolir di tengah sebuah danau yang sangat luas. Pulau itu subur makmur sehingga penghuninya tidak perlu keluar pulau untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Guru Kiplik mendapati sembilan orang penduduk pulau tersebut yang rajin bekerja dan tidak putus-putusnya berdoa. Namun cara berdoa yang mereka lakukan ternyata salah di mata Guru Kiplik. Untuk itu ia merasa terpanggil mengubah cara berdoa mereka yang salah tersebut, sebab menurutnya cara berdoa penduduk pulau tersebut justru memohon kutukan bagi diri mereka sendiri. Dengan susah-payah akhirnya Guru Kiplik berhasil mengajari mereka “cara berdoa yang benar”.
Setelah berhasil, Guru Kiplik pamit untuk melanjutkan perjalanannya. Ia merasa bersyukur telah berhasil mengajari mereka. Setelah berada di atas perahu dan melanjutkan perjalanan, Guru Kiplik merasa tercengang ketika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa kesembilan warga pulau tersebut menyusulnya dengan berlari di atas air sambil berteriak, “Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”
Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air? (Dodolitdodolitdodolibret, 2011:7).
Adaptasi atau Kebetulan?
Sebuah karya sastra sebenarnya lahir tidak dalam kekosongan, sehingga sangat memungkinkan adanya pengaruh karya lain yang telah muncul terlebih dahulu. Jalin-menjalin antarkarya sastra sangat dimungkinkan, karena setiap pengarang menjadi bagian dari penulis lain. Setiap pengarang sulit lepas dari karya orang lain, karena mereka harus membaca dan meresepsi karya orang lain.
Begitu pula halnya yang terjadi dengan cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” ini. Secara sepintas, cerpen tersebut memiliki kemiripan dengan cerpen versi bahasa Indonesia karya Leo Tolstoy berjudul “Tiga Pertapa” yang terdapat dalam Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada (Serambi Ilmu Semesta, 2011: 45-57) dengan penerjemah Atta Verin. Dalam versi bahasa Inggris, cerpen ini berjudul “Three Hermits” dan diterbitkan tahun 1886 (http://www.online-literature.com).
“Tiga Pertapa” bercerita tentang seorang uskup dan sejumlah peziarah yang berlayar menuju sebuah biara yang jauh. Dalam perjalanan tersebut, mereka melintasi sebuah pulau yang konon katanya dihuni oleh tiga orang pertapa tua yang misterius. Uskup tersebut merasa terpanggil untuk melihat cara beribadah ketiga pertapa, apakah sudah benar atau belum. Sang uskup pun minta kepada kapten kapal untuk turun sebentar ke pulau itu.
Tergerak oleh rasa iba terhadap ketiga pertapa yang ingin berbakti kepada Tuhan, tetapi tidak mengerahui tata cara yang benar, uskup itu kemudian mengajarkan mereka cara berdoa menurut ajaran Tuhan melalui kitab suci yang telah dipahaminya. Para pertapa yang sudah tua tersebut susah-payah melafalkan doa yang diajarkan sang uskup. Uskup itu tidak berhenti hingga ia selesai mengajarkan seluruh doa. Ia mengajari mereka hingga mereka mampu mengucapkannya tanpa dibimbing lagi, bukan sekadar menirukan kata-katanya. Ia berpesan kepada mereka untuk berdoa sesuai dengan cara yang diajarkannya. Kemudian ia kembali ke kapal untuk melanjutkan perjalanan.
Belum jauh kapal berlayar, tiba-tiba dari arah pulau terdengar suara air menderu. Uskup dan para penumpang kapal lainnya menyaksikan ketiga pertapa tua itu mendekati kapal dengan berlari di atas air. Mereka minta diulangi doa yang diajarkan sang uskup karena mereka lupa. Uskup takjub melihat kejadian tersebut, lalu berkata, “Bukan aku yang harus mengajari kalian. Berdoalah untuk kami, para pendosa ini,” (Tolstoy, 2011:57).
Leo Tolstoy (1828-1910) adalah sastrawan Rusia terbesar yang berpengaruh luas dalam peta sastra dunia. Novelis besar yang lahir di Yasnaya Polyana (kawasan pedesaan Rusia sebelah selatan Moskow), 9 September 1828 ini, juga seorang pemikir sosial dan moral terkemuka pada masanya. Karya-karyanya yang bercorak realis dan bernuansa religius sarat dengan perenungan moral dan filsafat. Gagasan-gagasan putra seorang ningrat ini kontroversial dan tidak lazim pada masanya, sehingga sering membuatnya dicap sebagai anarkis oleh kaum puritan.
“Dodolitdodolitdodolibret” dan “Tiga Pertapa” secara tematik memiliki pesan yang sama, yakni pengarang berusaha mengingatkan pembaca bahwa janganlah seseorang menganggap pemahaman dirinya adalah yang paling benar di antara pemahaman-pemahaman lainnya. Apabila dikaji secara intertekstual maka akan ditemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya sebelumnya pada karya yang muncul kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut (Teeuw dalam Nurgiyantoro, 2007:50). Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya tersebut diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekadar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya.
Dalam hal ini (ditinjau dari tahun penerbitannya) “Tiga Pertapa” berkedudukan sebagai hipogram (induk) yang menetaskan karya baru, yakni “Dodolitdodolitdodolibret”. Pada akhir cerpennya, Seno menuliskan keterangan referensial bahwa “cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi”. Hal ini menunjukkan bahwa cerpen Tolstoy merupakan salah satu cerita yang ditransformasi Seno ke dalam ceritanya (dengan melihat bentuk-bentuk hubungan unsur intrinsik kedua cerita tersebut).
Berkaitan dengan masalah hipogram, Julia Kristeva (dalam Nurgiyantoro, 2007:52) mengemukakan bahwa tiap teks merupakan sebuah mosaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Hal ini berarti bahwa tiap teks mengambil unsur-unsur yang dipandang baik dari teks sebelumnya, kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau sebuah karya mengandung unsur ambilan dari berbagai teks, karena telah diolah dengan pandangan dan daya kreativitas sendiri, dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya, karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya. Sebuah teks kesastraan yang demikian dapat dipandang sebagai karya yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasi, wawasan estetika, dan horison harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasi karya-karya lain ke dalam karyanya sendiri (Nurgiyantoro, 2007). 

DODOLITDODOLITDODOLIBRET

" Seno dan "Tiga Pertapa" Tolstoy: Adaptasi atau Kebetulan?

(Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)
Beberapa bentuk hubungan unsur intrinsik yang ditemukan dalam kedua cerita adalah sebagai berikut. Kedua cerpen ini menceritakan tentang seorang yang pemuka agama yang merasa dirinya telah benar melakukan ibadah kepada Tuhan, sehingga ia merasa terpanggil untuk memperbaiki cara beribadah orang-orang yang belum benar melaksanakan tata caranya, khususnya berdoa. Dalam cerpen “Dodolitdodolitdodolibret”, Seno menyuguhkan tokoh Kiplik atau Guru Kiplik sebagai seorang ahli dalam berdoa, yang telah merasa yakin bahwa ia telah mempraktikkan “cara berdoa yang benar”, sehingga ia memperoleh kebahagiaan yang tiada tara. Ia ingin semua orang juga turut merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakannya. Untuk itu ia mengajari orang-orang “cara berdoa yang benar”. Sementara, Tolstoy dalam cerpennya “Tiga Pertapa” menghadirkan seorang uskup yang terpanggil oleh rasa kasih Tuhan untuk menjaga dan mengajari umat manusia menurut ajaran Tuhan melalui kitab suci.
Dalam kedua cerita ini terlihat masing-masing pemuka agama tersebut --Guru Kiplik dan uskup-- pergi ke sebuah pulau terpencil. Seno menggambarkan pulau tersebut berada di tengah-tengah sebuah danau yang sangat luas, sedangkan Tolstoy menggambarkan sebuah pulau yang terletak di tengah lautan. Di pulau tersebut, Guru Kiplik mendapati sembilan orang penghuni pulau yang rajin berdoa, namun salah dalam tata caranya di mata Kiplik. Uskup yang dikisahkan Tolstoy mendapati tiga orang pertapa tua yang ingin menyelamatkan jiwa mereka dan berdoa kepada Tuhan. Namun hal yang sama ditemui uskup tersebut, cara berdoa ketiga pertapa itu tidak benar. Selanjutnya, baik Guru Kiplik maupun uskup itu melakukan pembenahan agar penduduk pulau tersebut memperoleh pengetahuan cara berdoa yang benar, dengan mengajari mereka meskipun dengan upaya yang keras (sebab harus mengubah cara berdoa yang telah mereka lakukan bertahun-tahun). Setelah mereka mampu mempraktikkan cara bedoa yang benar menurut Guru Kiplik maupun uskup tersebut, kedua ahli berdoa ini pun pamit dan pergi meninggalkan pulau itu. “Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar” (Dodolitdodolitdodolibret, 2011:7), dan uskup “berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirimnya untuk mengajari dan membantu orang-orang sebaik itu” (Tolstoy, 2011:55).

Belum jauh perahu (Guru Kiplik) atau kapal (uskup) berlayar meninggalkan pulau, masing-masing mereka dikejutkan oleh kedatangan warga pulau —yang tadinya mereka ajarkan cara berdoa yang benar— mengejar perahu/kapal mereka dengan berlari-lari di atas air. Kesembilan warga pulau terisolir maupun ketiga pertapa tua itu lupa cara berdoa yang benar dan minta diajarkan kembali. Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air? (Dodolitdodolitdodolibret, 2011:7). Sedangkan uskup berkata, “Doa kalian akan didengar Tuhan. Bukan aku yang harus mengajari kalian. Berdoalah untuk kami, para pendosa ini” (Tolstoy, 2011:57).
Menurut Edi Sembiring dalam tulisannya “Mantra ‘Dodolidodolitdodolibret’-nya Seno Gumira Ajidarma Bukan Plagiat” (http://fiksi.kompasiana.com) Tolstoy maupun Seno dalam menuliskan cerpennya terinspirasi pada kisah Yesus yang mengajarkan “doa Bapa kami” yang melarang untuk bertele-tele dalam berdoa (Injil Matius 6: 7-8; Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.) Selanjutnya Tolstoy dan Seno juga terinspirasi dari kisah Yesus yang berjalan di atas air, dan bagaimana Petrus yang mencoba mendekati-Nya hampir tenggelam (Matius 14: 30-31; Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak, “Tuhan, tolonglah aku!” Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata, “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”).
Pernyataan Edi Sembiring ini sepertinya dapat menegaskan bahwa cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” ini berlatar belakang berbagai ajaran agama seperti yang telah diungkapkan Seno dalam catatan referensialnya. Tolstoy secara gamblang menghadirkan kisah tentang trinitas suci yang dianut oleh umat Kristen. Uskup yang menjadi tokoh utama dalam “Tiga Pertapa” dengan jelas mengajarkan “doa Bapa kami” (seperti yang digambarkan Edi Sembiring) kepada tiga pertapa tua di pulau terpencil itu. Begitu pula keberadaan tokoh tiga pertapa yang diciptakan Tolstoy, sangat berkaitan dengan cara berdoa mereka, seperti yang terlihat pada kutipan berikut. “Kami berdoa seperti ini,” pertapa itu menjawab. “Engkau ada tiga, kami ada tiga, maka kasihanilah kami” (Tolstoy, 2011: 52). Sedangkan Guru Kiplik yang dibangun Seno dalam cerpennya hanya mengutarakan bahwa “cara berdoa yang benar” adalah kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, waktunya terukur, perhatiannya terpusat, dilandasi kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan, seolah-olah sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.
Seno, seorang sastrawan dari generasi baru di sastra Indonesia ini, menghadirkan cerita yang sederhana tetapi kompleks (menurut Arif Bagus Prasetyo dalam tulisannya “Pelajaran dari Guru Kiplik” sebagai epilog Dodolitdodolitdodolibret). Di dalam cerpen ini terkandung kekayaan makna yang berlapis-lapis.
Menurutnya, penulis produktif kelahiran Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958 ini menyuguhkan pluralitas makna kebenaran beragama. Lewat tokoh Kiplik, cerpen ini memberi pesan yang kuat bahwa seseorang jangan mudah mengklaim agamanya sebagai agama paling benar dan menganggap sesat agama lain, serta jangan menganggap pemahaman diri agamanya sebagai yang paling benar di antara pemahaman-pemahaman orang lain. Kekuatan doa bukan hanya sekadar kebenaran pelafalan kata-kata dengan ketepatan gerakan dan waktu dalam melakukannya, tetapi perlu dilakukan dengan segenap jiwa dan penyerahan diri sepenuhnya kepada kemahakuasaan Tuhan. Dengan demikian setiap orang diberi kebebasan untuk memilih kebenaran sesuai dengan yang diyakininya. Semua makna yang dibahas Arif tersebut juga terlihat dalam “Tiga Pertapa”.
Setelah kedua cerpen tersebut dibandingkan, ternyata terdapat satu poin yang berbeda. Dalam cerpen “Dodolitdodolitdodolibret”, Seno menggambarkan tokoh Guru Kiplik sebagai sosok yang hanya percaya kepada dunia empiris. Baginya, dunia nyata itu mesti indrawi, dapat diverifikasi oleh panca indra. Ia adalah seseorang yang “sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri” (Dodolitdodolitdodolibret, 2011: 3). Sementara dalam cerpen “Tiga Pertapa”, Tolstoy tidak menggambarkan tokoh uskup yang empiris. Uskup tersebut digambarkan sebagai tokoh agama yang taat beragama yang merasa berkewajiban menyebarkan ajaran Tuhan kepada seluruh umat manusia. Namun ketika melihat ketiga pertapa itu mampu berjalan bahkan berlari di atas air, ia merasa telah menjadi seorang pendosa.
Lalu, dalam hal ini apakah Seno benar-benar telah mengeluarkan segenap kekuatan imajinasi dan wawasan estetikanya dalam mencipta “Dodolitdodolitdodolibret”? Bagaimanakah bentuk horison harapan Seno yang mentransformasi berbagai cerita serupa dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi ini (seperti pernyataannya pada keterangan referensial) dalam cerpennya tersebut? Apakah hal ini adaptasi ataukah hanya kebetulan belaka?
ADE SANTOSA, Mahasiswa UNINUS Bekerja Guru Honorer di jenjang SD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar