DODOLITDODOLITDODOLIBRET
” Seno dan “Tiga Pertapa” Tolstoy: Adaptasi atau Kebetulan?
( Bagian Pertama )
BERDOA merupakan salah satu ibadah kepada
Sang Pencipta. Dengan berdoa seseorang bisa memohon atau meminta sesuatu yang bersifat
baik kepadaNya, seperti minta keselamatan hidup, perlindungan, rezeki yang
halal, keteguhan iman, dan lain sebagainya. “Cara berdoa yang benar” disuguhkan
Kiplik atau Guru Kiplik dalam cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno
Gumira Ajidarma yang dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan
Kompas 2010 (Penerbit Buku Kompas, 2011: 1-8). Cerpen ini merupakan cerpen
terbaik Kompas 2011.
Cerpen ini menceritakan seorang lelaki
bernama Kiplik yang merasa yakin telah menguasai dan mengamalkan “cara berdoa
yang benar”. Menurut hasil pengamatan Kiplik banyak sekali orang yang berdoa
dengan tidak benar, padahal jika kata-kata dalam sebuah doa yang diucapkan
salah, maka bukan saja menghasilkan makna yang berbeda, tetapi malah bisa
bertentangan. Dalam keyakinan Kiplik, “cara berdoa yang benar” itu haruslah
sempurna, yakni kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, waktunya terukur,
perhatiannya terpusat, dilandasi kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan,
seolah-olah sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada
lagi yang akan lebih benar. Dengan kebenaran cara berdoa yang dipraktikkan
Kiplik dalam kehidupannya, ia mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara.
Kebahagiaan yang diperolehnya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan yang tidak ternilai, dan oleh sebab itu ia selalu ingin membagikannya kepada siapa saja. Sebagai ahli ilmu berdoa, Kiplik yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Guru Kiplik mengembara untuk mengajarkan ilmunya kepada orang banyak , agar mereka dapat berdoa dengan benar seperti dirinya, dan mencapai kebahagiaan seperti dirinya pula. Banyak orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Guru Kiplik, serta menjadi pengikutnya.
Kebahagiaan yang diperolehnya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan yang tidak ternilai, dan oleh sebab itu ia selalu ingin membagikannya kepada siapa saja. Sebagai ahli ilmu berdoa, Kiplik yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Guru Kiplik mengembara untuk mengajarkan ilmunya kepada orang banyak , agar mereka dapat berdoa dengan benar seperti dirinya, dan mencapai kebahagiaan seperti dirinya pula. Banyak orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Guru Kiplik, serta menjadi pengikutnya.
Sebagai seorang ahli berdoa, Guru Kiplik
menyangsikan kebenaran sebuah dongeng lama, bahwa siapa pun yang berdoa dengan
benar akan mampu berjalan di atas air. Menurut Guru Kiplik dongeng itu hanyalah
perlambang untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan diperoleh siapa pun yang
berdoa dengan benar.
Suatu ketika, Guru Kiplik mengembara ke
sebuah pulau terisolir di tengah sebuah danau yang sangat luas. Pulau itu subur
makmur sehingga penghuninya tidak perlu keluar pulau untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih layak. Guru Kiplik mendapati sembilan orang penduduk pulau
tersebut yang rajin bekerja dan tidak putus-putusnya berdoa. Namun cara berdoa
yang mereka lakukan ternyata salah di mata Guru Kiplik. Untuk itu ia merasa
terpanggil mengubah cara berdoa mereka yang salah tersebut, sebab menurutnya
cara berdoa penduduk pulau tersebut justru memohon kutukan bagi diri mereka
sendiri. Dengan susah-payah akhirnya Guru Kiplik berhasil mengajari mereka
“cara berdoa yang benar”.
Setelah berhasil, Guru Kiplik pamit untuk
melanjutkan perjalanannya. Ia merasa bersyukur telah berhasil mengajari mereka.
Setelah berada di atas perahu dan melanjutkan perjalanan, Guru Kiplik merasa
tercengang ketika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa kesembilan
warga pulau tersebut menyusulnya dengan berlari di atas air sambil berteriak,
“Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang
benar!”
Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap
dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru
saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu
benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga
mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air? (Dodolitdodolitdodolibret,
2011:7).
Adaptasi atau Kebetulan?
Sebuah karya sastra sebenarnya lahir tidak
dalam kekosongan, sehingga sangat memungkinkan adanya pengaruh karya lain yang
telah muncul terlebih dahulu. Jalin-menjalin antarkarya sastra sangat
dimungkinkan, karena setiap pengarang menjadi bagian dari penulis lain. Setiap
pengarang sulit lepas dari karya orang lain, karena mereka harus membaca dan
meresepsi karya orang lain.
Begitu pula halnya yang terjadi dengan cerpen
“Dodolitdodolitdodolibret” ini. Secara sepintas, cerpen tersebut memiliki
kemiripan dengan cerpen versi bahasa Indonesia karya Leo Tolstoy berjudul “Tiga
Pertapa” yang terdapat dalam Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada (Serambi Ilmu
Semesta, 2011: 45-57) dengan penerjemah Atta Verin. Dalam versi bahasa Inggris,
cerpen ini berjudul “Three Hermits” dan diterbitkan tahun 1886 (http://www.online-literature.com).
“Tiga Pertapa” bercerita tentang seorang
uskup dan sejumlah peziarah yang berlayar menuju sebuah biara yang jauh. Dalam
perjalanan tersebut, mereka melintasi sebuah pulau yang konon katanya dihuni
oleh tiga orang pertapa tua yang misterius. Uskup tersebut merasa terpanggil
untuk melihat cara beribadah ketiga pertapa, apakah sudah benar atau belum.
Sang uskup pun minta kepada kapten kapal untuk turun sebentar ke pulau itu.
Tergerak oleh rasa iba terhadap ketiga
pertapa yang ingin berbakti kepada Tuhan, tetapi tidak mengerahui tata cara
yang benar, uskup itu kemudian mengajarkan mereka cara berdoa menurut ajaran
Tuhan melalui kitab suci yang telah dipahaminya. Para pertapa yang sudah tua
tersebut susah-payah melafalkan doa yang diajarkan sang uskup. Uskup itu tidak
berhenti hingga ia selesai mengajarkan seluruh doa. Ia mengajari mereka hingga
mereka mampu mengucapkannya tanpa dibimbing lagi, bukan sekadar menirukan
kata-katanya. Ia berpesan kepada mereka untuk berdoa sesuai dengan cara yang
diajarkannya. Kemudian ia kembali ke kapal untuk melanjutkan perjalanan.
Belum jauh kapal berlayar, tiba-tiba dari
arah pulau terdengar suara air menderu. Uskup dan para penumpang kapal lainnya menyaksikan
ketiga pertapa tua itu mendekati kapal dengan berlari di atas air. Mereka minta
diulangi doa yang diajarkan sang uskup karena mereka lupa. Uskup takjub melihat
kejadian tersebut, lalu berkata, “Bukan aku yang harus mengajari kalian.
Berdoalah untuk kami, para pendosa ini,” (Tolstoy, 2011:57).
Leo Tolstoy (1828-1910) adalah sastrawan
Rusia terbesar yang berpengaruh luas dalam peta sastra dunia. Novelis besar
yang lahir di Yasnaya Polyana (kawasan pedesaan Rusia sebelah selatan Moskow),
9 September 1828 ini, juga seorang pemikir sosial dan moral terkemuka pada
masanya. Karya-karyanya yang bercorak realis dan bernuansa religius sarat
dengan perenungan moral dan filsafat. Gagasan-gagasan putra seorang ningrat ini
kontroversial dan tidak lazim pada masanya, sehingga sering membuatnya dicap
sebagai anarkis oleh kaum puritan.
“Dodolitdodolitdodolibret” dan “Tiga Pertapa”
secara tematik memiliki pesan yang sama, yakni pengarang berusaha mengingatkan
pembaca bahwa janganlah seseorang menganggap pemahaman dirinya adalah yang
paling benar di antara pemahaman-pemahaman lainnya. Apabila dikaji secara
intertekstual maka akan ditemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada
karya sebelumnya pada karya yang muncul kemudian. Tujuan kajian interteks itu
sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya
tersebut (Teeuw dalam Nurgiyantoro, 2007:50). Prinsip intertekstualitas yang
utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan.
Karya tersebut diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari
karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekadar pengaruh, ambilan,
atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara
penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya.
Dalam hal ini (ditinjau dari tahun
penerbitannya) “Tiga Pertapa” berkedudukan sebagai hipogram (induk) yang
menetaskan karya baru, yakni “Dodolitdodolitdodolibret”. Pada akhir cerpennya,
Seno menuliskan keterangan referensial bahwa “cerita ini hanyalah versi penulis
atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka
bumi”. Hal ini menunjukkan bahwa cerpen Tolstoy merupakan salah satu cerita
yang ditransformasi Seno ke dalam ceritanya (dengan melihat bentuk-bentuk
hubungan unsur intrinsik kedua cerita tersebut).
Berkaitan dengan masalah hipogram, Julia
Kristeva (dalam Nurgiyantoro, 2007:52) mengemukakan bahwa tiap teks merupakan
sebuah mosaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi
dari teks-teks lain. Hal ini berarti bahwa tiap teks mengambil unsur-unsur yang
dipandang baik dari teks sebelumnya, kemudian diolah dalam karya sendiri
berdasarkan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau
sebuah karya mengandung unsur ambilan dari berbagai teks, karena telah diolah
dengan pandangan dan daya kreativitas sendiri, dengan konsep estetika dan
pikiran-pikirannya, karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan
sifat kepribadian penulisnya. Sebuah teks kesastraan yang demikian dapat dipandang
sebagai karya yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasi, wawasan estetika,
dan horison harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasi karya-karya
lain ke dalam karyanya sendiri (Nurgiyantoro, 2007).
DODOLITDODOLITDODOLIBRET
" Seno dan "Tiga Pertapa" Tolstoy: Adaptasi atau Kebetulan?
(Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)
Beberapa bentuk hubungan unsur intrinsik yang
ditemukan dalam kedua cerita adalah sebagai berikut. Kedua cerpen ini
menceritakan tentang seorang yang pemuka agama yang merasa dirinya telah benar
melakukan ibadah kepada Tuhan, sehingga ia merasa terpanggil untuk memperbaiki
cara beribadah orang-orang yang belum benar melaksanakan tata caranya,
khususnya berdoa. Dalam cerpen “Dodolitdodolitdodolibret”, Seno menyuguhkan tokoh
Kiplik atau Guru Kiplik sebagai seorang ahli dalam berdoa, yang telah merasa
yakin bahwa ia telah mempraktikkan “cara berdoa yang benar”, sehingga ia
memperoleh kebahagiaan yang tiada tara. Ia ingin semua orang juga turut
merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakannya. Untuk itu ia mengajari
orang-orang “cara berdoa yang benar”. Sementara, Tolstoy dalam cerpennya “Tiga
Pertapa” menghadirkan seorang uskup yang terpanggil oleh rasa kasih Tuhan untuk
menjaga dan mengajari umat manusia menurut ajaran Tuhan melalui kitab suci.
Dalam kedua cerita ini terlihat masing-masing
pemuka agama tersebut --Guru Kiplik dan uskup-- pergi ke sebuah pulau
terpencil. Seno menggambarkan pulau tersebut berada di tengah-tengah sebuah
danau yang sangat luas, sedangkan Tolstoy menggambarkan sebuah pulau yang
terletak di tengah lautan. Di pulau tersebut, Guru Kiplik mendapati sembilan
orang penghuni pulau yang rajin berdoa, namun salah dalam tata caranya di mata
Kiplik. Uskup yang dikisahkan Tolstoy mendapati tiga orang pertapa tua yang
ingin menyelamatkan jiwa mereka dan berdoa kepada Tuhan. Namun hal yang sama
ditemui uskup tersebut, cara berdoa ketiga pertapa itu tidak benar.
Selanjutnya, baik Guru Kiplik maupun uskup itu melakukan pembenahan agar
penduduk pulau tersebut memperoleh pengetahuan cara berdoa yang benar, dengan
mengajari mereka meskipun dengan upaya yang keras (sebab harus mengubah cara
berdoa yang telah mereka lakukan bertahun-tahun). Setelah mereka mampu
mempraktikkan cara bedoa yang benar menurut Guru Kiplik maupun uskup tersebut,
kedua ahli berdoa ini pun pamit dan pergi meninggalkan pulau itu. “Guru Kiplik
merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar”
(Dodolitdodolitdodolibret, 2011:7), dan uskup “berterima kasih pada Tuhan
karena telah mengirimnya untuk mengajari dan membantu orang-orang sebaik itu”
(Tolstoy, 2011:55).
Belum jauh perahu (Guru Kiplik) atau kapal (uskup) berlayar meninggalkan pulau, masing-masing mereka dikejutkan oleh kedatangan warga pulau —yang tadinya mereka ajarkan cara berdoa yang benar— mengejar perahu/kapal mereka dengan berlari-lari di atas air. Kesembilan warga pulau terisolir maupun ketiga pertapa tua itu lupa cara berdoa yang benar dan minta diajarkan kembali. Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air? (Dodolitdodolitdodolibret, 2011:7). Sedangkan uskup berkata, “Doa kalian akan didengar Tuhan. Bukan aku yang harus mengajari kalian. Berdoalah untuk kami, para pendosa ini” (Tolstoy, 2011:57).
Belum jauh perahu (Guru Kiplik) atau kapal (uskup) berlayar meninggalkan pulau, masing-masing mereka dikejutkan oleh kedatangan warga pulau —yang tadinya mereka ajarkan cara berdoa yang benar— mengejar perahu/kapal mereka dengan berlari-lari di atas air. Kesembilan warga pulau terisolir maupun ketiga pertapa tua itu lupa cara berdoa yang benar dan minta diajarkan kembali. Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air? (Dodolitdodolitdodolibret, 2011:7). Sedangkan uskup berkata, “Doa kalian akan didengar Tuhan. Bukan aku yang harus mengajari kalian. Berdoalah untuk kami, para pendosa ini” (Tolstoy, 2011:57).
Menurut Edi Sembiring dalam tulisannya
“Mantra ‘Dodolidodolitdodolibret’-nya Seno Gumira Ajidarma Bukan Plagiat”
(http://fiksi.kompasiana.com) Tolstoy maupun Seno dalam menuliskan cerpennya
terinspirasi pada kisah Yesus yang mengajarkan “doa Bapa kami” yang melarang
untuk bertele-tele dalam berdoa (Injil Matius 6: 7-8; Lagipula dalam doamu itu
janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah.
Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi
janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan,
sebelum kamu minta kepada-Nya.) Selanjutnya Tolstoy dan Seno juga terinspirasi
dari kisah Yesus yang berjalan di atas air, dan bagaimana Petrus yang mencoba
mendekati-Nya hampir tenggelam (Matius 14: 30-31; Tetapi ketika dirasanya
tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak, “Tuhan, tolonglah
aku!” Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata, “Hai orang
yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”).
Pernyataan Edi Sembiring ini sepertinya dapat
menegaskan bahwa cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” ini berlatar belakang
berbagai ajaran agama seperti yang telah diungkapkan Seno dalam catatan
referensialnya. Tolstoy secara gamblang menghadirkan kisah tentang trinitas
suci yang dianut oleh umat Kristen. Uskup yang menjadi tokoh utama dalam “Tiga
Pertapa” dengan jelas mengajarkan “doa Bapa kami” (seperti yang digambarkan Edi
Sembiring) kepada tiga pertapa tua di pulau terpencil itu. Begitu pula
keberadaan tokoh tiga pertapa yang diciptakan Tolstoy, sangat berkaitan dengan
cara berdoa mereka, seperti yang terlihat pada kutipan berikut. “Kami berdoa
seperti ini,” pertapa itu menjawab. “Engkau ada tiga, kami ada tiga, maka
kasihanilah kami” (Tolstoy, 2011: 52). Sedangkan Guru Kiplik yang dibangun Seno
dalam cerpennya hanya mengutarakan bahwa “cara berdoa yang benar” adalah
kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, waktunya terukur, perhatiannya
terpusat, dilandasi kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan, seolah-olah
sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang
akan lebih benar.
Seno, seorang sastrawan dari generasi baru di
sastra Indonesia ini, menghadirkan cerita yang sederhana tetapi kompleks
(menurut Arif Bagus Prasetyo dalam tulisannya “Pelajaran dari Guru Kiplik”
sebagai epilog Dodolitdodolitdodolibret). Di dalam cerpen ini terkandung kekayaan
makna yang berlapis-lapis.
Menurutnya, penulis produktif kelahiran
Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958 ini menyuguhkan pluralitas makna
kebenaran beragama. Lewat tokoh Kiplik, cerpen ini memberi pesan yang kuat
bahwa seseorang jangan mudah mengklaim agamanya sebagai agama paling benar dan
menganggap sesat agama lain, serta jangan menganggap pemahaman diri agamanya
sebagai yang paling benar di antara pemahaman-pemahaman orang lain. Kekuatan
doa bukan hanya sekadar kebenaran pelafalan kata-kata dengan ketepatan gerakan
dan waktu dalam melakukannya, tetapi perlu dilakukan dengan segenap jiwa dan
penyerahan diri sepenuhnya kepada kemahakuasaan Tuhan. Dengan demikian setiap
orang diberi kebebasan untuk memilih kebenaran sesuai dengan yang diyakininya.
Semua makna yang dibahas Arif tersebut juga terlihat dalam “Tiga Pertapa”.
Setelah kedua cerpen tersebut dibandingkan,
ternyata terdapat satu poin yang berbeda. Dalam cerpen
“Dodolitdodolitdodolibret”, Seno menggambarkan tokoh Guru Kiplik sebagai sosok
yang hanya percaya kepada dunia empiris. Baginya, dunia nyata itu mesti
indrawi, dapat diverifikasi oleh panca indra. Ia adalah seseorang yang “sangat
sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya,
tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian
dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri” (Dodolitdodolitdodolibret, 2011:
3). Sementara dalam cerpen “Tiga Pertapa”, Tolstoy tidak menggambarkan tokoh
uskup yang empiris. Uskup tersebut digambarkan sebagai tokoh agama yang taat
beragama yang merasa berkewajiban menyebarkan ajaran Tuhan kepada seluruh umat
manusia. Namun ketika melihat ketiga pertapa itu mampu berjalan bahkan berlari
di atas air, ia merasa telah menjadi seorang pendosa.
Lalu, dalam hal ini apakah Seno benar-benar
telah mengeluarkan segenap kekuatan imajinasi dan wawasan estetikanya dalam
mencipta “Dodolitdodolitdodolibret”? Bagaimanakah bentuk horison harapan Seno
yang mentransformasi berbagai cerita serupa dengan latar belakang berbagai
agama di muka bumi ini (seperti pernyataannya pada keterangan referensial)
dalam cerpennya tersebut? Apakah hal ini adaptasi ataukah hanya kebetulan
belaka?
ADE SANTOSA, Mahasiswa UNINUS Bekerja Guru Honorer di jenjang
SD.